Jumat, 05 Desember 2008

zonepuisi

RE ru n t u h AN gEL a p

Di setiap pagi yang sepi, malam yang menggigil, dengan reruntuhan gelap. Aku selalu menatap laut disetiap aku terbangun. Laut terkadang tenang, berwarna biru, memberikan warna damai. Tapi sesekali biru berubah hitam, lalu memberi keruh pada jalan pikiranku.

Dahulu aku mencintai laut yang luas, seluas hatiku. Menerima segala yang dianugerahkan Tuhan, seperti halnya aku sebagai Mahkluk ciptaanNya. Tapi kali ini raut muka laut begitu kusut, dan hari-hari yang aku lalui begitu pahit. Aku manusia biasa yang diberi perasaan khawatir, senang atau bahagia dan juga sedih. Kegagalan datang itu sudah biasa, tapi ini adalah aku yang belum mampu menerima ketetapan Tuhan. Ini begitu berat bagiku. Maafkan aku ya Tuhan, aku hendak membenci ciptaanmu. Aku muak dengan laut, aku begitu takut melihat gulungan ombak yang berubah membentuk senyumannya yang seolah memberikan tanda akan melepaskan kehidupan denganku.

Aku ingin berada disisimu kembali, memeluk segala rasa bersama, melewati hari-hari meski terkadang tidak sempurna. Dan aku ingin melayang kepada mimpi. Meski mimpi hanya membuatku terlena, mimpi itu menjauh dari apa yang aku harapkan.

Perubahan seseorang akan terjadi seiring berjalannya waktu. Saat aku tertindas. Di sudut-sudut laut yang gelap yang menyimpan segala bisik gelisah.

Kita temukan diriku pada dunia baru.

***

Lalu pada akhirnya aku kembali pada pangkuan pemikiranku yang kolot. Aku hanya butuh menuiliskan beberapa hal yang mungkin kurang penting mengenai hidupku untuk dibagi dan dibicarakan kepadamu. Tapi ternyata aku lalai, karena telah lengah menjaga dan memberimu kasih sayang.

Kekhawatiranku mulai tumbuh, saat peswawat terbang itu melaju. Tiba-tiba daun-daun sakura berguguran menyambut kedatanganmu. Sedangkan bayangan pedang tajam menjadi jembatan yang mengasah pikiranku kedalam pikiran kotor.

Awalnya aku anggap baik-baik saja, karena aku mulai belajar untuk ditinggalkan. Aku telah lama tertidur ditemani sepi. Lalu terbangun bersama sepi kembali. Tak seperti biasanya waktu itu, setiap aku terbangun selalu mendapatkan basah kasih sayang dikening, pipi, bahkan bibirku.

Tetapi waktu selalu menggusurku kepada hari tua. Bukan pendewasaan yang aku dapatkan akan tetapi pemikiran anak kecil yang manja, yang selalu ingin ada gula-gula menyertainya.

Mungkin kita harus kembali pada masa lalu. Saat terakhir aku melihat senyuman itu dan juga melihat mata yang berkaca-kaca, begitu tajam dan mempesona bagiku.

Kau harus ingat bulan suci ramadahan telah mengantarkan aku pulang ke kampung halaman. Tapi dia pula yang memisahkan aku dengan air mata di sudut bibirmu yang gemetar. Aku memelukmu, lalu lepas. Aku mengecup keningmu, lalu hilang. Aku tak mengharap kau melambaikan tangan dan juga tak mengharap kau diam. Aku berharap kau menangis, dengan tangismu aku bangga, aku merasa, aku masih ditunggu dan aku masih ada di hatimu.

Selepasnya aku pergi aku sempat menuliskan kata-kata dan sebuah janji yang ku tanamkan dalam hatimu. Tapi sayang aku menanam pun percuma jika tidak pernah disirami. Maka apa yang akan aku petik nanti.

Ah….aku harus terbangun dari kesedihan kosong. Aku meluapkan kerinduan ini dengan berbagi pada alam-alam yang selalu setia padaku. Aku sampai di kampung halaman. Aku bercerita pada ibu, ayah, nenek, paman, adik dan si bungsu kesayangamu. Semuanya senang, di raut wajah mereka begitu tenang. Bahkan setenang air di lautan.

Aku meninggalkanmu….? Whats up….

Betulkah itu? Berarti bahaya telah datang pada pengujianku.

Lalu waktu terus berangsur, menjembatani pola pikir yang direndam rindu. Aku tak kalah saing dengan teman-temanku. Handphoneku selalu berdering setiap hari.

Lagi-lagi kita bersuara dan mendengarkan isi hati kita. TibA-tiba, hingga akhirnya Kupang adalah tujuanku. Aku khawatir tak bias menghubungimu di sana. Oh… tapi tidak, semua baik-baik saja. Tuhan masih ijinkan aku untuk selalu bisa mendengarkan suaramu yang merdu, yang mengeluh. Aku sayang kamu…kata-kata itu selalu muncul tiap hari pada layar kotak masuk. Aku pun tak kalah, di bait terakhir item terkirimku selalu saja ada kalimat itu.

Singkat, waktu memang singkat tapi begitu lama ketika aku menungguinya untuk segera berlalu. Tiba-tiba aku sampai di kota hitam daerah timur, Sorong nama kota itu. Sehari aku berada di sana. Dan mungkin baru sempat aku menghirup udara pagi. Tiba-tiba aku merasa kehilangan udara sejukku setelah mendengar kau harus terbang ke Negara matahari terbit.

Lalu aku menceritakan kisah yang tadi aku tulis pertama sebelum kau tahu. Tentang kekhawatiran itu.

Lelah hatiku. Keringat jiwaku meleleh disetiap nafasnya.bagaikan aku sedang berlari marathon. Lantas aku mencarimu, mencari-cari suaramu yang hilang.

Lagi-lagi Tuhan menolongku, Dia berikan kekuatannya hingga aku mampu bernafas lega. Aku masih bisa merasakan kau ada di sini. Waktu itu aku gelisah hingga aku bertanya pada adikmu, Iva. Bagaimana caranya untuk menghubungimu. Iva memberiku angka asing, tapin itulah jalan Tuhan untuk bisa menyatukan aku denganmu.

Rasa hilang yang mengekang

Kembali lagi rasa itu sunyi, seperti kala aku sedang sendiri. Menjadi seorang yang terabaikan lalu jadi sejarah begitu saja, masa lalu dan masa lampau. Aku selalu melewati hari-hari dengan perasaan sendiri. Aku hidup dalam keramaian dan senyum serta tawa, kadang tangis, keluh, kesah, resah, munafik dan lain yang pernah dirasakan oleh manusia normal. Tapi dalam keramaian itu aku teramat sunyi dan terasing dari gelanggang cahaya. Aku merasa jalanku gelap, mata kakiku tak jadi lentera, mata hatiku tak lagi jadi pelita. Kemana aku harus melangkah. Jalan apa yang harus aku ikuti. Aku merda kehilangan. Lalu rasa hilang itu teramat mengekang. Memebelenggu, memenjara, merantai bahkan mencekik leheru di gelapnya kegelapan.

***

INILAH PERJALANNAN ITU

Gerbong kereta api, selepas aku pergi. Terakhir kali aku meliihat senyuman untuk akhir pekan. Rel kereta adalah saksi terakhir saat aku lepas pelukan dan meninggalkan kecupan di bibir keningmu. Bulan suci Rammadhan mengantarkan ku ke kammpung halaman. Tetapii melepaskan sebuah kehangatan, pada setiap jejak-jejak langkahku.

Kepada waktu yang menitipkan cinta, atas nama kesetiaan, maha suci Ia yang menganugerahkan. Meskki ragamuu jjaauh, tetapi hatimu yakin akan hatiku, dan hatikku teramat yakin akan haimu.

Lalu...adalah waktu berangsur, semakin hari semakin waktu, detik-detik akan tinnggalkan, demi perjalanan fittrah sebagai halnya manusia biasa.

Aku melangkahkan kaki ke kota nasrani, adalah jalan Tuhan melangkahkan kakiku, meski tersiksa kauu bersabar, meski terpaksa aku bertegar.

Hingga pada saatu waktu aku melangkah, kepada gelombang, teerpakksa goyang dan terambang. Selepas kau terbanng ke negeri Sakura, Negeri Matahari terbitt itu memberi panas yang membakar hati.,,,pergilah...

GELOMBANG PECAH

Gelombang pecah di laut Arafura, hidup dalam deru mengennas lepas di ujung-ujung gelap. Hanya ada cahaya kapal sesat tersirat. Sesekali bayangan wajahmu yang samar memuncar di riuh riak ombak yaang mesra. Dia mengajakku berenang-renang brsama ikan. Ini adalah kisah luka seseorang lelaki sednag berdarah tapis. Tapi tak tahu pun tahu nyeriku.

Kepastiam hanya perkiraan, maut merupakan dugaan tetapi sebuah kepastian. Telah lama aku merindukan bulan berganti saat-saat bersamamu, sehingga musim di Sakura berganti pula. Aku tak tahan menahan rindu, aku tak bisa menahan luka, aku tak mampu menahan perih.

Dalam tahun ini 2007, Tahun keramat, penuhh dengan susah payahku... aku berangan ingin segera menikhimu secepatnya. Aku bahagia karena akan bertemu denganmu, aku senag bisa kembali dipelukmu, aku berjuang untuk ini, untuk pulang kepadamu dengan perjalanan susah payah. Kembalilah....

LELAKI ASING

Lelaki asing pemakan daging, pemakan bangkai yang tercecah kuku-kuku biadab.

Aku telah sampai pada jejakku yang tersirat, pada harapan aku ingin pulang. Aku pandai menipu tetapi aku tertipu. Komunikasi terbatas, terbagi, tersaingi, terasing bagi lelaki asing dikota ini.

Tanjung perak...meski semua tak seperti dulu, tapi tubuhku ingin memelukmu dengan erat. Aku berada di sini bagai bbayi telanjang baru dilahirkan kedunia yang baidab dan laknat.

Aku berhasil menngelabui kekasihnya. Tiba-tiba kau akan melihat aku berubah, lain, luar biasa dan terasing.

Lalu kekasihku berkata ”kau nampak kurus dan tidak bersemangat, berambut gondrong dan tidak terurus”. Hatiku menjawab, ”Aku sakit, selalu memikirkan hal yang menyakitkan. Aku lelah, selalu membuat diri dan ahti ini letih. Buanglah.....

Lelaki asing masih terpancing...

Semuanya berubah, 180 derajat. Kita mendekat, semakin jauh untuk bersatu. Padahal persetubuhan kita nikmati bersama hari dan malam sunyi.

Aku bahkan pernah menanam benih, menanam sakit pada perihmu. Hingga darah mengalir di antar bayangan kita.

Akulaah lelaki asing itu....sedangkan lelaki asing di kota asing itu telah menjadi kakak pada keasinganku.

Aku sering menyaksikan air mata di atas foto-foto yang tersenyum padaku. Aku ingin berteriak A....Nnn....Jiiiiiiiiingggg.

Aku ingin memutuskan hidup...untuk mati rasa. Aku berjalan bagai mayat hidup bagai mayat Zombi, lalu ia dicambuk kebisuan. Kepalsuan itu adalah apaaaa?

Di balik tirai ada kaca yang transfaran menembus mata yang buta, karen ia tak terlihat.....ah bagooooooooooooong.

Aku muak...tapi aku bagaikan kepala babi yang bingung jalan pulang, ucapkan selamat jalan pada penyesalan, selamat datang kisah baru yaang menyakitkan. Ujung selataan.


***

Sebuah Kata Yang Tak Pernah Kalah

Manusia terlalu sempurna bahkan selalu memilih pilihan, dibekali logika dan perasaan yang terkadang pernah mengalahkan segala yang jadi pilihan. Aku lelaki punya rupa sederhana, sejelek-jeleknya aku, serupa Rahwana ingin memakan daging Shinta yang mulus, meski murka adalah air yang harus aku minum, aku tentu memilih. Meski logika mengatakan bahwa itu adalah salah, maka katakanlah salah. Tapi perasaan mengataka itu benar tapi tak pernah ia kata jua kebenaran itu.

Nilai kebenaran itu ada dimana? Kau kah yang menjawab. Ah... tidak jua akhirnya. Akhirnya malah aku meniduri ranjang berkaki dua saat ia terjuntai dan beralas sprai sepenggal rambut. Ini adalah pengkhianatan bagiku, karena aku yang memulai dan semua terasa nikmat meski aku takut sekali ketahuan jika aku selingkuh. Eh... kau jangan malu saat aku iyakan kata selingkuh itu nikmat, apalagi sembari ditelanjangi persetubuhan.

***

BELAJAR MENIDURI

Aku remas payudara, aku masih ingat. Aku hisap. Aku bukan bayi. Aku suka. I like it. Kau jangan tertawa. Kau jangan marah. Kau yang gunting urat syaraf. Kau yang suka jika aku hisap payudaranya. Aku masih ingat saat kutikamkan pisau tumpul bernanah bakal bayi. Hangat, ada raung, ada rintih, ada geli, ada pejam, ada gelap. Itu bagus. Aku lebih suka. Kau menyukainya? Kau hebat, itu memang nikmat bukan?

Berapa kali kau ditiduri aku? Sudah lupa bukan? Berapa kali kau ditiduri laki-laki lain? Berapa laki-laki telah menidurimu? Berapa kuuat mereka menidurimu dalam satu malam? Ha....ha... gila bukan tanyaku...kau yang bikin aku gila tapi kau pasti masih ingat. Kau hanya malu, iya kan.ah biarkan sudah. Aku sudah bilang perasaan tak pernah mengiyakan kebenaran. Logika juga enggan kita perdebatkan, karenanya kita hanya bisa mengucapkan, hanya bisa menggurui. Aku juga sama. Tahu kalau berzinah itu haram, tapi masih jua aku melakukannya. Kau jangan munafik. Ini enak.meski kita takan bisa bohong sama Tuhan, Tuhan tahu kok, Dia sulka melihatnya. Tapi aku tak malu telanjang di depan Tuhan. Aku cuma agak malu telanjang di depan orang banyak dan aku malu sama orang jika kita suka bersetubuh baik siang maupun malam. Sama Tuhan aku tidak malu, karena Tuhan tidak pernah bilang-bilang sama siapapun.

Setelah aku menidurimu, tiada puasnya, esok hari aku ingin tidur lagi denganmu.

KAWIN

Andri Irawan

Aku ingin menyuntingmu segera

Menjadi pria paling beruntung di dunia

Menjadi panglima perang

Pada medan ranjang

Malam pertama

Mari saksikan

Sebentar lagi

Ada tubuh licin penuh keringat

Seperti sepasang ikan kekeringan

Sedang bermandi cahaya

Seperti laut minta garam

Seperti hutan minta nyanyi para binatang

Seperti malam minta bebintang

Seperti kita

Sejak kutikamkan

Monumen keabadian

Pada malam yang keramat dan rimba